Lompat ke isi utama

Berita

Sejarah Hukum Pengawasan Pemilu dari Masa ke Masa

Sejarah Hukum Pengawasan Pemilu dari Masa ke Masa

Oleh: Fadhlil Wafi Fauzi, S.H (Staf Analis Hukum)

Sejarah Pemilihan umum (Pemilu) di Indonesia dimulai pada tahun 1955. Pada saat itu Pemilu dibagi menjadi 2 (dua) yaitu, pertama untuk memilih anggota DPR dan yang kedua untuk memilih anggota Konstituante (lembaga yang dibentuk untuk membuat konstitusi Undang-Undang Dasar baru menggantikan UUDS 1950). Dalam Pemilu tahun 1955 terpilih 5 (lima) besar Partai yang memperoleh suara terbanyak, yakni Partai Nasional IndonesiaMasyumiNahdlatul Ulama, Partai Komunis Indonesia, dan Partai Syarikat Islam Indonesia. Pada Pemilu tahun 1955 pada saat itu belum ada Pengawasan atau Lembaga yang mengawasi pelaksanaan Pemilu.

Pelaksanaan Pemilu tanpa adanya Pengawasan ataupun Lembaga yang mengawasi Pelaksanaan Pemilu juga terjadi pada Pemilu era Orde Baru dengan dibawah kekuasaan Presiden Soeharto yaitu pada Pemilu tahun 1971 dan Pemilu tahun 1977.

 

Lahirnya Pengawasan Pemilu

Pemilihan Umum sebagai sarana terwujudnya Demokrasi, melaksanakan kedaulatan rakyat. Pengertian demokrasi menunjukkan bahwa keikutsertaan rakyat merupakan kunci utama dalam menjalankan sistem pemerintahan yang demokrasi.

Mayo dalam Kristiadi (2006:117) memberikan definisi Sistem politik yang demokratis ialah dimana kebijaksanaan umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil yang diawasi secara efektif oleh rakyat dalam pemilihan-pemilihan berkala yang didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan dalam suasana terjaminnya kebebasan politik.

Indonesia yang kala itu sedang membangun peradaban politik yang sehat, melaksanakan pemilu tanpa adanya pengawasan yang jelas secara hukum, struktur dan fungsi yang kuat. Hal tersebut telah dinilai oleh kalangan masyarakat dan aktivis akan berpotensi besar menimbulkan pemilu yang tidak sesuai aturan dan tidak fair.

Pada Pemilu tahun 1971, muncul berbagai dugaan pelanggaran dan manipulasi penghitungan suara oleh penyelenggara pemilu. Sementara, pada Pemilu tahun 1977, masyarakat dan aktivis menilai pelanggaran dan manipulasinya disebut kian masif. Kondisi ini membuat munculnya banyak protes ketidakpuasan dari berbagai kalangan mengenai penyelenggaraan pemilu. Pemerintah dan DPR merespon protes ini. Kemudian, muncul gagasan untuk memperbaiki undang-undang Pemilu, dengan harapan ada perubahan kualitas demokrasi pada Pemilu pada tahun 1982.

Pada pelaksanaan Pemilu tahun 1982, dibentuk sebuah lembaga yang dikenal sebagai Panita Pengawas Pelaksanaan Pemilu atau lebih sering disebut dengan Panwaslak Pemilu. Terbentuknya lembaga tersebut sebagai bentuk usaha untuk menyempurnakan pelaksanaan pemilu sebelum-sebelumnya. Panwaslak Pemilu diketuai langsung oleh Jaksa Agung RI dan melakukan pengawasan pelaksanaan pemilu. Pembentukan Panwaslak Pemilu tersebut hanya menampung permasalahan yang disampaikan oleh masyarakat dan peserta pemilu, bukan menangani tindak pidana terkait pemilu. Pelaksanaan Pemilu dengan lembaga Panwaslak Pemilu ini terus berjalan pada Pemilu tahun 1987, 1992, 1997 dan 1999.

Setelah dibentuk Panwaslak Pemilu, seluruh keberatan dan protes dari partai politik (parpol) bisa diselesaikan melalui mekanisme musyawarah. Panwaslak Pemilu bertahan sampai pada era reformasi, lembaga pengawas pemilu tersebut berubah nama menjadi Panitia Pengawas Pemilu atau biasa disebut dengan Panwaslu.

 

Pengawasan Pemilu Era Reformasi

Pada era reformasi, masyarakat menuntut untuk dibentuk penyelenggara Pemilu yang bersifat mandiri, independen dan bebas dari intervensi penguasa. Maka melalui Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Penyelenggara Pemilu mengatur pelaksanaan pengawasan Pemilu dibentuk lembaga adhoc terlepas dari struktur KPU. Undang-Undang tersebut dijadikan dasar atas pelaksanaan Pemilu pada tahun 2004.

Selanjutnya, regulasi pengawas Pemilu dikuatkan lagi melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu, atas dasar Undang-undang tersebut dibentuknya sebuah lembaga tetap yang dinamakan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Kewenangan utama dari Bawaslu adalah untuk mengawasi pelaksanaan tahapan pemilu, menerima pengaduan, serta menangani kasus-kasus pelanggaran administrasi, pelanggaran pidana pemilu, serta kode etik. Undang-Undang tersebut dijadikan dasar atas pelaksanaan Pemilu pada tahun Pemilu 2009.

Dinamika kelembagaan pengawas Pemilu ternyata masih terus berlanjut, maka diterbitkannya Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu. Berdasarkan diterbitkan Undang-Undang tersebut Bawaslu memiliki kewenangan untuk menangani sengketa Pemilu, mengawasi pelaksanaan tahapan pemilu, menerima pengaduan, serta menangani kasus-kasus pelanggaran administrasi, pelanggaran pidana pemilu, serta kode etik dalam pemilu. Undang-undang tersebut dijadikan dasar atas pelaksanaan Pemilu pada tahun 2014.

Pada Pemilu 2019 yang baru saja berjalan kemarin, merupakan Pemilu pertama kali yang dilaksanakan secara serentak dan langsung, Pemilu untuk memilih Anggota Legislatif DPR, DPD, DPRD dan Eksekutif (Presiden dan Wakil Presiden) sebagai bentuk pelaksanaan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum juga memperkuat wewenang Bawaslu. Lembaga Bawaslu tak lagi sekadar pemberi rekomendasi, tetapi sebagai eksekutor atau pemutus perkara. Hal itu sesuai ketentuan Pasal 461 ayat (1) UU No 7/2017, dimana Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Bawaslu Kabupaten/Kota memiliki wewenang menerima, memeriksa, mengkaji, dan memutuskan pelanggaran administrasi Pemilu.

Aturan Hukum mengenai Pengawasan Pemilu kemungkinan akan terus berubah seiring berjalannya waktu. Hal tersebut dikarenakan Hukum tidak bisa dilepaskan dari dinamika sosial. Pemilu adalah bagian dari dinamika sosial yang terus berkembang. Oleh karena itu, hukum akan terus diperbaiki sebagai bentuk penyempurnaan dari fenomena sosial yang akan terjadi.