
Sekretariat: Jl. Gor, Mlati Kidul, Kec. Kota Kab. Kudus
Telp. (0291) 2912930 Fax (0291) 2912930
Website: www.kudus.bawaslu.go.id
E-mail: set.kudus@bawaslu.go.id
SIARAN PERS
Penguatan Kelembagaan Pengawas Pemilu di Kudus: Dari Implikasi Politik hingga Tantangan Hukum Pasca Putusan MK
Siaran Pers -Perubahan desain pemilu pascaputusan Mahkamah Konstitusi (MK) mendorong Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Kabupaten Kudus untuk menggelar kegiatan Penguatan Kelembagaan Pengawas Pemilu bersama Mitra Kerja dengan mengangkat tema “Arah Baru Desain Pemilu Indonesia Pasca Putusan MK: Implikasi Hukum, Politik dan Kelembagaan”, Rabu (27/8/2025) di Hotel Griptha Kudus.
Kegiatan ini menjadi momentum strategis untuk mendalami dampak dan tantangan pascaputusan Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap sistem kepemiluan di Indonesia.
Ketua Bawaslu Kudus, Moh Wahibul Minan, dalam sambutan pembukaan menekankan pentingnya kegiatan penguatan kelembagaan pengawas pemilu, terutama dalam konteks perubahan desain pemilu pascaputusan Mahkamah Konstitusi. Ia juga berharap forum ini dapat menjadi ruang diskusi yang produktif untuk memperkuat sinergi antar lembaga dalam mengawal demokrasi.
"Tema yang kita angkat hari ini, ‘Arah Baru Desain Pemilu Indonesia PascaPutusan MK: Implikasi Hukum, Politik, dan Kelembagaan’, sangat relevan untuk kita diskusikan bersama. Semoga kegiatan ini menjadi sarana memperkuat sinergi dan memberikan kontribusi nyata bagi perbaikan pemilu di Indonesia, khususnya di Kabupaten Kudus," ujarnya.
Kegiatan ini menghadirkan empat narasumber yang berkompeten di bidangnya. Mereka adalah Tenaga Ahli Komisi II DPR RI, Salman Nasution dan Agustinus Eko Rahardjo, Anggota KPU Provinsi Jawa Tengah, Akmaliyah, serta Anggota Bawaslu Provinsi Jawa Tengah Periode 2018–2023, Anik Sholihatun.
Dalam paparan materinya, Tenaga Ahli Komisi II DPR RI, Salman Nasution menilai putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang memisahkan pemilu nasional dan pemilu daerah dengan rentang waktu dua hingga dua setengah tahun adalah titik balik desain pemilu Indonesia. Di satu sisi, keputusan ini membuka ruang perbaikan, tetapi di sisi lain menimbulkan dilema baru yang tidak bisa kita abaikan.
“Permasalahan yang paling mendasar adalah potensi krisis tafsir konstitusi. Bagaimana dengan kepala daerah dan anggota DPRD yang masa jabatannya habis sebelum Pemilu Lokal digelar? Apakah boleh diperpanjang tanpa pemilu? Kalau iya, dasar hukumnya apa? Ini yang kami sebut sebagai problem normatif yang serius,” tutur Salman.
Sampai hari ini, DPR RI belum mengambil sikap resmi. Komisi II bersama alat kelengkapan dewan lainnya masih melakukan pendalaman. Namun, yang pasti, apa pun kebijakan politik hukum yang akan diambil, semuanya harus berpijak pada kepatuhan terhadap konstitusi.
Salman juga menambahkan bahwa Putusan MK ini juga membawa dampak positif. Beban penyelenggara menjadi lebih ringan, fokus pemilih lebih jelas, dan isu-isu daerah tidak lagi tersapu oleh agenda politik nasional. Tetapi, tantangan besarnya adalah bagaimana menjamin transisi ini tidak menciptakan krisis demokrasi.
Sementara itu, dalam paparannya, Agustinus Eko Rahardjo menekankan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 135/PUU-XXII/2024 membawa arah baru bagi desain pemilu Indonesia. Ia mengingatkan bahwa Bawaslu tidak hanya berperan pada saat pemilu berlangsung, melainkan juga harus aktif menjaga kualitas demokrasi di luar masa kontestasi.
"Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024 jelas memberi arah baru dalam desain pemilu kita. Karena itu, Bawaslu tidak boleh hanya hadir ketika ada pilpres atau pilkada saja. Tugas besar kita adalah terus menjaga dan meningkatkan kualitas demokrasi, termasuk di masa jeda kontestasi maupun setelah pemilu usai," kata Agustinus Eko Rahardjo yang akrab disapa Mas Jojo.
Agustinus juga menyoroti pentingnya penguatan engagement publik. Menurutnya, kehadiran Bawaslu harus selalu dirasakan masyarakat agar keberadaan lembaga pengawas benar-benar menjadi bagian dari kehidupan demokrasi sehari-hari.
"Engagement publik harus terus diperkuat, baik di masa ‘post election’ maupun ketika tidak ada agenda kontestasi. Bawaslu harus selalu hadir di ruang publik, hadir di mesin pencari, dan dirasakan manfaatnya oleh masyarakat," imbuhnya.
Kemudian, Anggota KPU Provinsi Jawa Tengah, Akmaliyah, menjelaskan bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024 membawa perubahan mendasar terhadap desain Pemilu di Indonesia. Putusan tersebut membagi penyelenggaraan Pemilu menjadi dua kategori, yakni Pemilu Nasional dan Pemilu Lokal, dengan jeda pelaksanaan antara dua hingga dua setengah tahun.
Menurut Akmaliyah, konsekuensi dari putusan ini adalah Pemilu Nasional akan digelar pada 2029, sedangkan Pemilu Lokal baru bisa dilaksanakan paling cepat pada 2031. Kondisi tersebut menuntut kesiapan ekstra dari KPU di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota untuk memastikan penyelenggaraan berjalan lancar dan berintegritas.
"Dengan adanya putusan MK tersebut, Pemilu Nasional akan dilaksanakan pada tahun 2029, sedangkan Pemilu Lokal paling cepat pada tahun 2031. KPU Jawa Tengah menyiapkan langkah strategis melalui pemutakhiran data pemilih dan partai politik secara berkelanjutan, pemenuhan serta peningkatan kapasitas SDM, dan penguatan sosialisasi serta pendidikan pemilih. Semua ini kami lakukan agar Pemilu mendatang dapat berjalan lebih efisien, transparan, dan berintegritas," jelas Akmaliyah.
Lebih lanjut, ia menekankan pentingnya sinergi antara KPU dengan Bawaslu, DKPP, partai politik, media, serta seluruh pemangku kepentingan agar setiap tahapan Pemilu dapat terlaksana sesuai prinsip demokrasi.
"Kami percaya, kesiapan penyelenggara dan dukungan semua pihak sangat menentukan kualitas demokrasi pada Pemilu 2029 dan Pemilu Lokal 2031 mendatang," tambahnya.
Adapun dari Anggota Bawaslu Provinsi Jawa Tengah periode 2018–2023, Anik Sholihatun, menyoroti adanya kebutuhan rekayasa konstitusional, terutama pada masa transisi jabatan kepala daerah dan DPRD, agar tidak menimbulkan persoalan legitimasi.
“Segera lakukan constitutional engineering, utamanya masa transisi, yaitu masa jabatan DPRD dan kepala daerah. Hal ini harus dicantumkan di dalam Undang-Undang Pemilu,” tegasnya.
Ia juga mengingatkan bahwa opsi pengangkatan penjabat kepala daerah berpotensi membuka ruang politisasi oleh rezim yang berkuasa. “Akan ada potensi politisasi oleh rezim yang berkuasa dengan cara mengangkat penjabat yang bukan hasil pilihan rakyat jika opsinya adalah pengangkatan penjabat,” jelasnya.
Di akhir paparannya, Anik menekankan pentingnya menjadikan Putusan MK 135 sebagai momentum untuk menata ulang sistem pemilu dan demokrasi agar lebih tertata, bermutu, serta sesuai dengan arah yang ditetapkan Mahkamah Konstitusi.
“Sejatinya lahirnya Putusan MK 135 bukan hanya sekadar memisahkan pemilu lokal dan nasional, namun harus menjadi momentum untuk menata ulang sistem pemilu dan demokrasi kita menjadi lebih tertata, lebih bermutu, serta sesuai titah Mahkamah Konstitusi,” tandasnya.
Kegiatan ini diwarnai diskusi interaktif dengan peserta yang terdiri dari unsur legislatif, penyelenggara pemilu, pemantau pemilu, akademisi, organisasi keagamaan, organisasi pemuda dan mahasiswa, organisasi masyarakat, serta insan pers di Kabupaten Kudus. Pertanyaan-pertanyaan yang muncul banyak menyinggung soal kepastian regulasi, kesiapan penyelenggara, hingga tantangan pengawasan di lapangan.
Kehadiran beragam elemen ini menunjukkan kuatnya komitmen bersama untuk mendukung penyelenggaraan pemilu yang jujur, adil, dan demokratis.
Dengan terselenggaranya kegiatan ini, Bawaslu Kudus berharap seluruh mitra kerja semakin memahami arah baru desain pemilu Indonesia sekaligus memperkokoh komitmen bersama untuk menjaga demokrasi yang bermartabat. [*]
(Tim Humas Bawaslu Kudus)